20 July 2013

12:25 AM
2
     Aku terlahir di sebuah desa kecil yang lebih dikenal dengan sebutan kota Sidiklang, kota kopi. 17 Juni 1994 sebuah hari bersejarah telah tercipta. Keluarga kami mendapatkan seorang anak laki-laki sekaligus menjadi anak tertua di keluargaku. 
    Junifer, datang kedunia ini tanpa sehelai benangpun, tanpa kacamata layaknya sekarang ini, dan tanpa alas kaki. Hanya air mata. Sejak lahir, ntah apa yang dipikirkan oleh orang tuaku, aku diberi nama Junifer diikuti nama keluargaku Lumbantobing. Sudah pasti ayahku bermarga Lumbantobing sedang ibuku berboru Marbun Banjarnahor (jadi udah tau siapa paribanku?) :D 
   Walau lahir dari keluarga sederhana, dirumah sederhana, pakaian sederhana, makanan sederhana, sude (semuanya) sederhana, aku masih bisa bersyukur atas keadaan yang menurutku sudah cukup beruntung itu. 
     Diusia 6 tahun, aku sudah masuk sekolah dasar di Sidikalang (tak ada yang aneh dengan hal itu kan?) tapi, beberapa tahun kemudian, tepatnya ketika masuk kelas 4, saya sudah mulai mengenakan kacamata dengan lensa minus 1.5. Sebagai siswa pertama dan termuda yang mengenakan kacamata pada waktu itu, maklum kami masih jarang teknologi dan kacamata, saya mendapat banyak teman. Ntah mereka berfikir bahwa kaca itu sangat aneh karna tidak memantulkan bayangan, ato mungkin ada yang berfikir kacamata ini tembus pandang. Selepas dari situ, belum lama kemudian saya dipindahkan ke sekolahan lain yang mungkin karena banyaknya laporanku kepada kedua orangtuaku atas tidakan usil dari temanku. Di sekolahan yang baru, aku tak merasakan banyak hal yang berbeda. Anak-anaknya yang sangat hobi olahraga, terutama dengan sepakbola. Lain halnya dengan diriku, aku sangat jarang diikutkan dalam permainan. Bukan karna tidak tau bermain. Semua posisi dapat kumainkan, larikupun ok, body memang kurang, tapi, alasan mereka adalah satu, “kacamata”. Sejak saat itu aku kesal atas kacamata yang sudah terlanjur jatuh cinta dan menempel di kepalaku. Pada awal kedatangannya aku dikerumuni oleh handai taulan di sekolahan, namun selanjutnya kurang dianggap. Setahun disana, saya kembali pindah ke SD lain. Luar biasa bukan? Rapor saya ditandatangani oleh tiga kepala sekolah dan mendapat nilai dari sekolahan yang berbeda. 
    Masuk ke SMP, aku mengalami hal yang jauh berbeda dari siswa yang lain. Dimana siswa lain sibuk Tanya nama, rumah, SD asal, mungkin udah ada yang menanyakan nomor sepatu dan nomor HaPe, aku dengan cepat dapat bersosialisi. Bukan karna Penampilanku (walaupun itu membantu) , tapi semua karna SD yang banyak kujalani walaupun aku termasuk orang yang kurang pergaulan. Pertengahan semester kelas 7, sebuah benda mirip meja karna ada empat kakinya, tapi mirip lapangan badminton juga karna ada kotak-kotaknya ditambah net. Uniknya, meja lapangan ini cukup mini. Berhari-hari setiap kali kesekolah kupandangi meja itu tapi tak ada juga yang belajar, ato mungkin tidur disana. Pelajaran olah raga kami (yang pertama semenjak SMP) tiba. Sehabis pemanasan, kami disuruh bubar dan melakukan apapun yang kami suka. Kebanyakan dari kami ikut bermain bola. Kali ini aku ikut. Mungkin karena jumlah laki-laki kelas kami pas-pasan. Tapi pandanganku masih tidak bisa lepas dari rekan satu kelasku yang masih saja berbincang dengan pembimbing mata pelajaran Penjaskes kami. Mereka kemudian masuk kedalah ruangan tempat meja misterius tedi. Sebuah raket, bukan raket (karna taka da jaring dan lubang-lubanya) mini lagi. Akupun tak tau namanya, dipegang masing-masing dari mereka dan sebuah bola kecil seukuran bola lampu pijar. Permainanpun dimulai, sampai tak sadar gawang kami sudah dua kali kemasukan gol karna melihat mereka yang memukul bola, memantulkan, memukul lagi, persis dengan badminton yang sering ku mainkan. Belakangan ku ketahui bahwa meja penarik perhatian itu adalah meja pingpong, dan permainannya ya pingpon atau kami lebih mengenal dengan nama tenis meja. Hanya butuh beberapa tahun saja, saya sudah mampu bermain pingpong dan ikut memenagi kompetisi yang dilakukan sekolah kami di akhir semester. Setiap pembagian rapor, nama saya ikut menajadi langganan untuk dipanggil kedepan. Bedanya dengan yang lainnya, saya bukan karna prestasi di kelas, melainkan juara tenis meja, walaupun juara dua, yang penting juara.    :D
     SMP memang momen yang tak terlupakan, selain belajar tenis meja, aku juga mulai berkenalan dengan komputer dan internet. Lagi-lagi, dengan cepat aku langsung tertarik, menggeluti, dan mengetahui komputer dan sahabatnya itu. Disusul oleh Bahasa inggris yang sangat ku minati karena ayahku pernah mengajarkan satu terjemahan bahasa inggris kepadaku, ntah hanya itu yang dia tahu, atau karna pertanyaan itu tiba-tiba muncul di TTS yang sangat pria Guru PKn itu suka gerayangi. 
     Tak seperti tenis meja dan komputer, mata perlajaran yang penuh dengan angka-angka sangat takut untuk tinggal di otakku. Menginap semalampun tidak. Bahkan, kadang kala hanya melewati telingaku saja dia sangat takut. Alhasil, pengetahuan MIPA kecuali Biologiku hanya pas-pasan. 
     Segala tentang komputer memang sangat suka kepadaku, ntah karena kharismaku atau ada bagaian lain dari komputer di dalam diriku. Ketika beranjak SMA, aku melihat kotak hitam yang mampu menampilkan gambar sama persis dengan apa yang dilakukan oleh orang yang menggunakannya. Sebentar saja, cara penggunaan alat itu sudah ku ketahui. Selebihnya Tak ada hal menarik yang ku alami ketika SMA selain predikat kami sebagai Generasi pertama dan terakhir RSBI (setelah dihapuskan oleh MK beberapa bulan setelah kami tamat). Dan ada hal unik lain yang sekolah lain tak pernah alami. Lagi-lagi, rapor ku ditandatangani oleh tiga kepala sekolah yang berbeda. Kali ini, bukan karena pindah sekolah, tapi karena pergantian kepala sekolah di sana. 
    Usai SMA, kami (aku dan teman-teman/khususnya satu kelas) terpakasa harus berpisah karena akan melanjutkan pendidikan keluar daerah. Bukan karena tidak ada Universitas di daerahku, tapi karena lebih memilih Perguruan Tinggi Negeri. Alhasil, setelah beberapa bulan ikut bimbingan, aku diterima di sebuah PTN di Medan, UNIMED. Disana, aku bertemu dengan orang-orang yang sudah ditunjuk oleh Tuhan membimbingku dalam kesendirian karena hidup layaknya sebatang kara tanpa keluarga. Jika dalam masa pertumbuhan akil balig berarti masa pertumbuhan menuju kedewasaan, disana aku mengalami akil balig dalam kehidupanku. Adalah bang Anda Pane yang telah mengajarkanku banyak hal mulai dari bagaimana bersikap, mengajak ikut kegiatan kerohanian, sampai mengenalkanku pada bang Dedy Gunawan Hutajulu yang kemudian mengajar, memotivasiku dalam kegiatan kepenulisan. Alhasil, tulisan pertamaku mampu tembus surat kabar. 
    Kini, aku sedang asik dengan kuliahku sambil sesekali ikut kegiatan menulis dan menulis untuk mengasah ketajaman kata-kataku.
Newer Post
Previous
This is the last post.

2 comments:

  1. Akan selalu ada proses hidup yg mneggiring kita menuju masa depan. Indah-buruk, suka atau tidak, hebat atau biasa-biasa, semuanya punya kadar ubah yang tak sama. Hanya jika kita mau menikmati proses itu, segalanya akan berjalan lebih baik. Lebih Indah. Maju terus, Sobat.

    ReplyDelete