28 January 2014

12:13 PM
       Hujan telah reda. Sambil mendengarkan musik instrumental lewat kedua kepala headset yang kubiarkan bercumbu dengan telingaku, aku mengayuh sepeda. Kurasakan kayuhanku berkejaran lagi bersahutan dengan nafasku. “Teeeee nune nnnnuuu neee nuuneee” headsetku mengomel.
     Ntah apa sebabnya, kakiku serasa lepas kendali dari otakku. Kini, yang mengatur cepat lambatnya kayuhanku adalah apa yang ada di liang telingaku. Lembut suaranya, lambat pula sepedaku.
     Sebuah konstruksi kaleng beroda empat melaju lebih cepat dari sepedaku mendekat layaknya seekor banteng yang mengejar dan ingin menyeruduk. Dia lewat tanpa memperdulikanku, menghiraukan genangan air yang mungkin akan di muntahkan dari bumi. Seolah tak mau ketinggalan, ada pula angin yang kurasakan ikut mengejar mobil itu sampai-sampai aku digoncang hal tak terlihat tadi. Belum lagi aku sempat menoleh, jutaan titik air dari yang terkecil sampai terbesar menyembur kearahku. Unik. Sebelah badanku terasa basah, namun sebelah lagi tidak.
     Kini genangan air tadi menghilang. Ntah kemana perginya. Mungkin habis dibawa ban mobil serakah tadi. Ban sepedaku mengarah ke sebuah kaki lima. Aku turun dari sepeda, mengibaskan tangan, sebelah kanan tentunya, mengusap-usap baju dan celana, yang sebelah kanan pula. Walau kesal dengan kejadian itu, namun aku masih bisa terhibur melihat bajuku kini punya motif. Sambil mengusap celana, matakaku tetap siaga mengawasi kaleng-kaleng lain yang mungkin lewat dan mengincar genangan yang lain. Sambil sedikit menunduk agar tanganku bisa meraih celana disekitar mata kaki aku melihat seorang gadis turun dari bis di arah berlawanan.
     Semakin lama, semakin jelas kulihat dia dari balik kaca ini. Mulutku terbuka dan kepalaku mendongak.  
     “Ihttthhtttt… brukkkaaaaakkkkk”
     Aku tersentak-kepalaku melihat jalan yang telah ku lalui tadi. Wajahku menampar keras ban sepeda, hidung dan sekitarnya hitam terkena tanah basah menempel di ban tadi. Tak kuasa menahan seranganku, sepedaku langsung terperosok, roboh hingga rata dengan tanah.
     Kulihat wanita tadi mulai melangkahkan kakinya, ingin menyebrang, mendekat kearahku.
     “mungkin dia tinggal di gang yang sama denganku”
     Ntah kenapa kepalaku tak kuasa menahaan mataku yang juga sangat ingin melanjutkan penerawangan atas suara keras yang baru ku dengar. Suara yang juga telah menjatuhkan sepedaku. Padahal, ingin sekali rasanya memastikan wajah yang selama ini masih menjadi teka-teki bagiku.
     Seorang wanita paruh baya kulihat tergeletak di jalanan. Kakinya tak bisa bergerak, menahan badan kereta. Kupaksa kembali kepalaku melihat wanita tadi, dia semakin dekat dan kakinya sudah tak terlihat lagi, jelas, dia sudah turun dari trotoar dan taman pembatas jalan mebatasinya. Mataku kembali melawan dan mengambil alih kendali tubuhku yang lain.
     Segera kakiku berlari ke wanita paruh baya itu, meletakkan tanganku di kursi dan stirnya. Kemudian dengan tenaga tangan mungilku, mendirikan kuda besi itu. Aku berusaha menghidupkannya, mencari tombol lampu sein agar pengumudi di belakang kami memperlambat laju. Tak kuasa diriku melihatnya berjalan sambil sedikit menyeret kaki kirinya. Setelah membawa keretanya keluar dari bahu jalan, aku berlari mengangkat tangannya dan mengijinkan wanita itu meletakkannya di bahuku.
     Puluhan orang mulai terlihat berlari kearah kami, seolah mengejar perampok atau penjambret. Mereka kemudian menaikkan wanita tua tadi ke dalam becak motor yang ntah untuk apa dan mau dibawa kemana.
Hatiku tiba-tiba berteriak, meronta memaksaku kembali ke sepeda dan wanita merah jambuku.



BaTBoY

0 comments:

Post a Comment